Minggu, 05 April 2009

PERSEPSI SAYA MENGENAI INDONESIA

Saya masih ingat pada seremoni upacara bendera senin pagi, sewaktu masih SD dulu. Di sebuah Sekolah Dasar yang terletak di perbukitan gunung Geulis, ujung barat kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Saya yang masih kecil, begitu bersemangat, setiap moment pengibaran bendera merah putih tengah dilakukan. Seketika badan kecil itu saya tegakkan, menunggu aba-aba ‘hormaat graak !!’ dari pemimpin upacara.
Tangan kanan ditekuk, saya tegakkan telapak tangan di dekat alis sebelah kanan. Alunan lagu Indonesia Raya semakin menderu-deru, membuat saya semakin bersemangat, sekeras mungkin saya meneriakan bait demi bait lirik lagu pusaka kebanggaan Indonesia. Lagu ciptaan W.R Supratman semakin menggelegar di halaman sekolah seluas empat kali delapan meter tersebut. Waktu itu, ingin rasanya saya berteriak dengan bangga, “ saya adalah generasi penerus masa depan Indonesia, saya adalah anak Indonesia, saya bangga menjadi bangsa Indonesa”. Memang begitulah atmosfirnya, alunan bait-bait lirik Indonesia Raya membuat siapa pun yang mendengarkannya akan merasakan perasaan bangga yang luar biasa, terlebih saya yang masih berumur tujuh tahun, pada waktu itu.
“Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku . . disanalah aku berdiri jadi pandu ibuku”. “Indonesia”, sebuah kata yang entah apa artinya, entah apa maknanya, berasal dari kata apa?, bahasa mana? Saya tidak begitu peduli dengan runutan pertanyaan-pertanyaan diatas, satu yang saya yakini, bahwa Indonesia adalah sebuah Negara tempat saya dilahirkan, tempat ibu dan ayah saya dilahirkan, nenek dan kakek saya dilahirkan, buyut, bao, udeg-udeg, janggawareng saya dilahirkan, tumbuh dan meninggal dunia.
Berbagai moment bersejarah seputar polemik dalam tataran nasional , mulai dari gerakan reformasi tahun 1998, krisis ekonomi nasional, pemisahan Timor-timur dari Indonesia, sengketa pulau sipadan dan ligitan dengan Malaysia, pergantian strukrurisasi birokrasi Indonesia sejak era Suharto, Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, sampai era SBY seakan menambah coretan tinta warna warni diatas kertas putih memori bawah sadar dalam otak saya. Coretan warna-warni tersebut secara perlahan membawa saya pada perubahan persepsi mengenai kata ‘Indonesia’.
Setelah saya beranjak dewasa, ketertarikan saya terhadap Indonesia semakin menjadi, "Indonesia", sebuah kata dalam bahasa Latin Indus yang berarti "India" dan dalam bahasa Yunani nesos yang berarti "pulau". Jadi, kata Indonesia berarti wilayah India kepulauan, atau kepulauan yang berada di India.
Ada sesuatu yang menarik disini, ternyata nama ini terbentuk jauh sebelum Indonesia menjadi negara berdaulat. Pada tahun 1850, George Earl, seorang etnolog berkebangsaan Inggris, awalnya mengusulkan istilah Indunesia dan Malayunesia untuk penduduk "Kepulauan India atau Kepulauan Melayu". Murid dari Earl, James Richardson Logan, menggunakan kata Indonesia sebagai sinonim dari Kepulauan India. Namun, penulisan akademik Belanda di media Hindia Belanda tidak menggunakan kata Indonesia, tetapi istilah Kepulauan Melayu (Maleische Archipel); Hindia Timur Belanda (Nederlandsch Oost Indië), atau Hindia (Indië); Timur (de Oost); dan bahkan Insulinde (istilah ini diperkenalkan tahun 1860 oleh novel Max Havelaar (1859), ditulis oleh Multatuli, mengenai kritik terhadap kolonialisme Belanda).
Sejak tahun 1900, nama Indonesia menjadi lebih umum pada lingkaran akademik diluar Belanda, dan golongan nasionalis Indonesia menggunakannya untuk ekspresi politik. Adolf Bastian dari Universitas Berlin mempopulerkan nama ini melalui buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipels, 1884–1894. Pelajar Indonesia pertama yang mengunakannya ialah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara), yaitu ketika ia mendirikan kantor berita di Belanda yang bernama Indonesisch Pers-bureau di tahun 1913.
Yah, begitulah, ‘Indonesia’ yang saya dapatkan dari wikipedia Indonesia. sejak zaman dulu, Indonesia sudah menjadi sebuah kepulauan istimewa, dengan keunikan budayanya, dengan kekayaan alamnya. Ada sesuatu hal yang mengganjal dalam pikiran saya, yang turut mejadi faktor yang secara perlahan membentuk persepsi saya mengenai kata Indonesia.
Apabila kita mencermati sejarah Indonesia, yang menjadikan Indonesia menjadi suatu yang unik dapat terbagi menjadi dua variabel, variabel pertama adalah fisik. Tidak dapat disangikal lagi keistimewaan dari segi fisikal Indonesia. Negeri yang memiliki 17.508 pulau ini memiliki keindahan yang luar biasa. Setiap jengkal tanah Indonesia memiliki keunikan tersendiri. Negeri seluas 1.904.569 km2 ini memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Itulah mungkin sebabnya, dahulu negeri kita menjadi rebutan negeri-negeri barat.
Variabel kedua adalah keunikan manusia Indonesia. Nenek moyang Indonesia terdahulu telah mewariskan kreasi-kreasi yang mengagumkan. Diantara karya mengagumkan dari nenek moyang bangsa Indonesia itu salah satunya adalah bahasa. Kita tidak akan pernah dapat menghitung berapa banyak bahasa yang dimiliki Indonesia, karena banyak bahasa yang mulai lenyap dari permukaan. Hal ini di akibatkan oleh keengganan generasi penerus Indonesia untuk melestarikan bahasa daerahnya masing-masing. Bahkan banyak diantara generasi muda yang malah membuat bahasanya sendiri. Saya tidak tahu, apakah itu sebuah kemajuan dari kreatifitas mereka atau malah menjadi sebuah kemunduran.
Keunikan lain dari budaya Indonesia adalah Budaya. Indonesia memiliki sekitar 300 kelompok etnis, tiap etnis memiliki budaya yang berkembang selama berabad-abad, dipengaruhi oleh kebudayaan India, Arab, Cina, dan Eropa, termasuklah kebudayaan kita sendiri yaitu Melayu. Contohnya tarian Jawa dan Bali tradisional memiliki aspek budaya dan mitologi Hindu, seperti wayang kulit yang menampilkan kisah-kisah tentang kejadian mitologis Hindu Ramayana dan Baratayuda. Banyak juga seni tari yang berisikan nilai-nilai Islam. Beberapa di antaranya dapat ditemukan di daerah Sumatra seperti tari Ratéb Meuseukat dan tari Seudati dari Nanggroe Aceh Darussalam.
Di bidang busana warisan budaya yang terkenal di seluruh dunia adalah kerajinan batik. Beberapa daerah yang terkenal akan industri batik meliputi Yogyakarta, Surakarta, Cirebon, Pandeglang, Garut, Tasikmalaya dan juga Pekalongan. Kerajinan batik ini pun diklaim oleh Malaysia dengan industri batiknya. Busana asli Indonesia dari Sabang sampai Merauke lainnya dapat dikenali dari ciri-cirinya yang dikenakan di setiap daerah antara lain baju kurung dengan songketnya dari Sumatra Barat (Minangkabau), kain ulos dari Sumatra Utara (Batak), busana kebaya, busana khas Dayak di Kalimantan, baju bodo dari Sulawesi Selatan, busana berkoteka dari Papua dan sebagainya. Kita dapat memberikan apresiasi kepada pemerintah khususya Departemen Kebudayaan RI yang telah membuat program Indonesian visit 2009, sehingga meningkatkan kembali gairah para pengrajin seni dan budaya di Indonesia. Walaupun program tersebut belum berdampak signifikan terhadap kemajuan seni dan budaya di Indonesia.
Seperti kita ketahui, bangsa Indonesia tengah merangkak, selangkah demi selangkah belajar, bergerak untuk mencapai kemajuan yang lebih baik. Salah satu arena belajar bangsa Indonesia yang diklaim telah mengalami kemajuan adalah bidang politik. Pemilihan presiden secara langsung dianggap menjadi sebuah titik balik menuju perkembangan perpolitikan Indonesia. Dalam pemilihan langsung yang tengah dijalankan sejak pemilu 2004, setiap penduduk yang berkewarganegaraan Indonesia mendapatkan hak untuk memilih wakilnya di DPRD dan DPR pusat, serta Presiden dan wakil presiden.
Berbicara mengenai pemilu, terkadang saya merasa bingung, apakah sistem pemilu ini adalah lebih baik atau tidak? Apabila kita mencermati prosesi kampanye yang berlangsung selama tiga pekan, berakhir pada tanggal 5 maret 2009 kemarin, hati ini rasanya meringis. Hari demi hari, kampanye Partai-partai politik menjelang pemilu 2009 berjalan. Berbagai Iklan elektronik bertebaran di media massa, seperti Televisi, Koran, Radio sampai Internet untuk menarik simpati khalayak. Selain menggunakan media massa elektronik, Iklan-iklan partai politik yang bersifat persuasif itu pun masih banyak yang menggunakan cara-cara konvensional, seperti pemasangan baligo, pamflet, Brosur, Spanduk, dan media cetak lainnya.
Selain itu, yang paling menyedihkan adalah prosesi kampanye yang diselenggarakan melalui proses arak-arakan (konvoi) dan pertunjukan seni dan orasi parpol di lapangan seluruh penjuru Indonesia. Proses arak-arakan yang dilakukan oleh masing-masing partai tentu saja bertujuan untuk menarik simpati rakyat, akan tetapi yang menjadi pertanyaannya, ‘apakah rakyat memberikan simpati positif untuk kegiatan kampanye partai tersebut ?’ lebih dari dua kali saya menyaksikan konvoi beberapa partai politik yang dilakukan secara frontal dan urakan, sebuah bendera besar di putar-putar oleh masing-masing partisipan parpol, dampak lainnya adalah bising kendaraan dan kemacetan yang merajarela diseluruh jalan di Indonesia.
Dalam prosesi kampanye, setelah konvoi kendaraan, biasanya dilakukan dengan pergelaran musik oleh parpol. Kadang saya bertanya, ini ‘ kampanye politik’ atau ‘pergelaran musik, apa bedanya dengan pergelaran musik yang biasa diselenggarakan oleh para Event Organizer ? terkadang, para partisipan parpol yang datang hanya bertujuan untuk menikmati pertunjukan seninya saja, bahkan tidak peduli dengan selingan orasi dari caleg masing-masing parpol ?
Kembali pada pertanyaan saya, apakah yang salah dari prosesi pemilu ini, sistemnya, atau kurangnya pemahaman Parpol mengenai sistem pemilu ?
Maraknya iklan politik yang beredar di media massa, perlahan membentuk persepsi ,kepercayaan, keyakinan, cara pandang, para penikmat media massa mengenai partai politik. Persepsi yang terbentuk dari pengiklanan politik tersebut pun beraneka ragam, dapat berupa persepsi negatif maupun persepsi positif. Persepsi positif dihasilkan apabila masyarakat merasakan keselarasan antara Janji- janji Parpol dengan realitas pergerakan Parpol tersebut dilapangan. Persepsi negatif akan terbentuk ketika parpol dirasa hanya mengumbar janji semata.

Menurut saya, rakyat pun dapat merasakan melalui daya guna hati nurani, parpol mana yang benar-benar ikhlas memperjuangkan rakyat Indonesia ?, banyak parpol yang menjanjikan “kesejahteraan rakyat” mengeluarkan dana miliaran rupiah dalam kampanye mereka, disaat jutaan rakyat Indonesia tengah dilanda kelaparan ,penyakit, dan gizi buruk ? kalau benar parpol mau memperjuangkan rakyat, kenapa mereka tidak mendayagunakan dana yang begitu besar itu untuk membeli makanan dan obat-obatan untuk mereka yang kelaparan ?, Ada juga parpol yang menjanjikan “lapangan pekerjaan” mengeluarkan dana miliaran rupiah dalam kampanye mereka, disaat jutaan rakyat Indonesia menjadi pengangguran ? kenapa mereka tidak menggunakan dana sebesar itu untuk membuat lapangan pekerjaan.
Mungkin memang, bangsa Indonesia terutama para partai politik harus belajar lebih banyak lagi, partai politik harus mengevaluasi lagi visi dan misi mereka dengan keselarasan aksi dan kegiatan mereka. Rakyat tidak memerlukan janji, akan tetapi aksi.
Menurut saya inilah saatnya bagi generasi muda Indonesia untuk bersatu, bergerak dan memulai perubahan. Mari kita bangun Indonesia untuk lebih baik. Itulah persepsi saya mengenai Indonesia.

2 komentar:

  1. Kepanjangan ga.....

    kayanya buat satu serpen bagus deh....

    hehehe..


    Tapi bagus ko curhatannya...
    hahahaha....

    BalasHapus
  2. posting pertamamu ini begitu terasa atmosfer semangatnya..
    tetaplah menulis yaa..
    met mengurai rasa dan menebar warna..
    ^_^

    BalasHapus