Kamis, 16 April 2009

my motivasi

i am a young man, who hoping better life in the future.
I will prepare this life seriously because I'm sure that my future. I will never give up, because there is will so there is way.
I will not complaint about this life, I will always look for the best solutions for every problem that I face.
pray is my power and hard work is my effort

Kamis, 09 April 2009

HITAM PUTIH MENTALITAS WIRAUSAHA GENERASI MUDA INDONESIA

Saya ingin sharing kepada anda mengenai beberapa permasalahan yang seringkali dialami oleh para mahasiswa yang baru lulus perguruan tinggi. Kebetulan, polemik yang akan saya tuturkan turut serta mengganggu jalan pemikiran, belief dan pandangan saya selama ini mengenai dunia kerja. Untuk menggambarkan konflik yang saya maksud, saya akan mengawalinya dengan sebuah dialog ketika saya mengikuti traning motivasi beberapa hari yang lalu,
“ Boleh saya tahu, anda punya cita-cita?” kata trainer.
“Tentu saja saya punya, pak” jawab mahasiswa.
“Cita-cita anda apa?” tanya trainer.
“Saya ingin menjadi orang kaya, saya ingin punya banyak uang” kata mahasiswa.
“Mmm, well, cita-cita yang bagus” komentar sang trainer.
“Kalau boleh saya tahu, bagaimana anda mewujudkan cita-cita anda tersebut ?” lanjut trainer.
“mmm . . . pertama, saya harus sesegera mungkin lulus kuliah, setelah itu saya akan mencari pekerjaan, ketika saya sudah mendapatkan sebuah pekerjaan, maka gerbang impian saya untuk mencapai cita-cita tersebut akan terbuka lebar”. Tutur mahasiswa.
“ooo, begitu, ya ?” kata trainer.
Setelah percakapan tersebut, sang trainer melanjutkan dengan pemaparan deskripsi kondisi dunia kerja di Indonesia. Beliau memaparkan fakta-fakta polemikasi dunia kerja yang tengah terjadi di beberapa kota di Indonesia. Pemaparan fakta beliau awali dengan berita dari website Harian Sinar Indonesia Baru, 22 Desember 2008, ketika para pengusaha telah memberikan sinyal PHK besar-besaran pada tahun 2009. Menurut harian tersebut, potensi PHK disektor Tekstil mencapai 70.000 sampai 80.000 orang. Desperindag Jabar tanggal 8 januari 2009, menyatakan bahwa aksi pemutusan hubungan kerja (PHK) sepanjang tahun 2008 pada sektor Tekstil dan produk tekstil yang mencapai 24.000 orang. Aksi PHK pun semakin meluas ke daerah, ungkap Suara Merdeka CyberNews edisi 12 maret 2009. Bahkan di Jawa tengah, Aksi PHK turut menelan korban sebanyak 8.617 orang, data dari AntaraNews 3 Maret 2009.
Di Jakarta, menurut suara merdeka CyberNews, 12 Maret 2009, sekitar 30.000 orang menjadi korban PHK. Besarnya gelombang PHK di ibukota Negara kita itu lebih banyak terjadi pada tenaga kerja kontrak, tenaga kerja harian lepas, sedangkan tenaga kerja permanen masih relatif aman. Website cetak kompas, 8 april 2009 menyatakan bahwa PHK massal semakin tidak terbendung lagi, di Surabaya sekitar 300 pekerja terancam dirumahkan.
Menyedihkan memang, mendengar fakta-fakta tersebut, tetapi satu hal yang harus kita pertimbangkan,bahwa fakta tersebut memang nyata. Lucu memang, disaat puluhan ribu orang tengah mengalami bencana pemutusan hubungan kerja, tetapi dipihak lain, ribuan mahasiswa berbondong-bondong untuk segera menyelesaikan studinya, guna mencari pekerjaan. Apa yang salah? Sebenarnya tidak ada salahnya, adalah hal yang wajar apabila seseorang berkeinginan untuk mencari pekerjaan, akan tetapi yang harus kita garis bawahi adalah ada suatu virus yang secara tidak sadar menjangkit masyarakat kita, hal itu adalah rendahnya mentalitas wirausaha generasi muda Indonesia.
Sebagai pertimbangan, untuk menjadi Negara maju setidaknya paling sedikit harus ada 2 % dari penduduknya yang menjadi wirausahawan. Sedangkan di Indonesia hanya mencapai sekitar 0,18 %. Sungguh memperihatinkan, apalagi kalau kita bandingkan dengan Negara lain, Amerika contohnya yang memilki 5 %, bahkan Singapura mencapai angka 7 %. Dari fakta tersebut, dapat kita lihat dampak yang begitu besar akibat dari rendahnya mental wirausaha bangsa kita, yaitu tingginya angka pengangguran.
Nampaknya Generasi muda harus belajar untuk merubah mindset mengenai cara mendapatkan uang. Sebagian besar dari masyarakat kita cenderung bersifat monoton, takut untuk membuat inovasi dan berkreasi, sehingga terjebak oleh cara pandang konvensional. Kita cenderung terkalahkan oleh mental Block, yang menghambat perkembangan diri dan kesuksesan. Pepatah Cina mengatakan, “berikan anak kita kail, jangan lauknya”. Dan memang ternyata benar, kita harus belajar untuk memandang aspek ini dari sisi lain di luar kebiasaan kita. Untuk itu jangan takut untuk menjadi wirausahawan, mengutip arti sebuah keberhasilan dari Helmi Ardian, Keberhasilan adalah “memiliki cita-cita, menggali potensi diri dan bermanfaat bagi orang lain”.
Saya kira, bukan hal yang mustahil untuk mencapai angka 2 % kuantitas wirausahawan Indonesia. Semoga 17,28 % generasi muda yang melanjutkan sekolah sampai perguruan tinggi di Indonesia dapat menjadi pelopor dunia wirausaha Indonesia di masa mendatang. Saya kira para generasi muda yang berkesempatan mengenyam pendidikan tinggi (sekitar 4,3 juta jiwa) dari sekitar 25,3 juta jiwa generasi muda berusia 19-24 tahun di Indonesia harus dapat menjadi agen change untuk Indonesia yang lebih baik. Hal ini karena mereka memiliki riwayat pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan 20 juta jiwa generasi muda lainnya, akan tetapi impian ini harus didukung pula oleh kurikulum pendidikan kita.
Sekarang saatnya untuk generasi bangsa merubah alur kehidupan yang cenderung monoton. Sampai kapan kita mempertahanan budaya mencari kerja? Saya kira tidak ada salahnya bila kita mencoba suatu hal yang baru, yang lebih menantang, tetapi dapat menjadi batu loncatan generasi muda dalam menggapai masa depan. Mari kita belajar untuk menghargai diri kita, karena diri kita terlalu berharga untuk menjadi bawahan orang lain.

PEMILU 2009, PROSESI PEMILU PALING BURUK?

Prosesi pesta demokrasi Indonesia untuk pemilihan wakil rakyat anggota DPR dan DPRD tengah dilaksanakan. Rakyat sangat antusias sekali untuk dapat berpartisipasi dalam perhelatan akbar ini. Bahkan dibeberapa Tempat Pemungutan Suara (TPS), kita dapat melihat antusiasme dari para pemilih mulai dari anak muda, dewasa, sampai kepada orang tua lanjut usia yang dengan sabar menunggu giliran menconteng. Bahkan sebagian besar dari para pemilih harus menunggu giliran mencontreng sekitar kurang lebih enam puluh menit.
Kegiatan akbar yang merupakan proyek kerjaan dari Komisi Pemilu Indonesia ini mulai memperlihatkan keretakan hitam, akibat dari banyaknya Calon Pemilih yang tidak mendapatkan kartu Pemilih. Di Jakarta timur, ratusan warga melakukan aksi tuntutan kepada KPU setempat akibat dari kelalaian KPU, sehingga mereka tidak mendapatkan hak suara mereka untuk mencontreng. Pemilu 2009 lagi-lagi mengalami kemerosotan apabila dibandingkan dengan pemilu tahun 2004, sejumlah masyarakat yang tengah mengalami perawatan di berbagai Rumah Sakit terpaksa masuk Golongan Putih alias golput karena pihak KPU tidak memberikan layanan pencontrengan keliling seperti yang dilakukan pada pemilu tahun 2004 silam.
Lebih mengenaskan lagi, menurut pemberitaan dimedia massa, perlengkapan kartu suara di tanah Papua malah baru datang pada pukul sebelas waktu setempat, bahkan ketika sebagian besar warga tengah pulang ketempatnya masing-masing. Memang sungguh memprihatinkan, menurut prediksi pakar politik Indonesia, Effendy Ghazali, jumlah calon pemilih yang tidak sempat mendapatkan hak suaranya mencapai 35% dari jumlah penduduk Indonesia.
Mudah-mudahan kegagalan pemilu 2009 kali ini dapat menjadi pembelajaran bagi KPU, sehingga prosesi Pemilu untuk pemilihan presiden mendatang dapat lebih maksimal sehingga kuantitas masyarakat yang tidak mendapatkan Hak suaranya dapat berkurang.

Senin, 06 April 2009

DESKRIPSI KEINGINAN RAKYAT

Masa kampanye selama tiga pekan akhirnya telah menginjak masa terakhirnya, pada hari minggu, tanggal 5 maret 2009, kemarin. Berbagai usaha untuk meraih simpati rakyat telah usai. Janji-jani telah banyak dikumandangkan, mulai dari kepedulian, sembako murah, kesejahteraan rakyat, pertanian, kesehatan, dan lain-lain.
Apabila kita melakukan flash back, kampanye 2009 kemarin, sebenarnya bangsa Indonesia dapat mempelajari banyak hal mulai dari konsistensi, keikhlasan, dan evaluasi. Ketiga aspek tersebut sebenarnya merupakan pondasi yang wajib dimiliki oleh para Partai Politik di Indonesia.
Okeh sahabat, mari kita bahas satu persatu, kita mulai dari aspek konsistensi. Konsistensi menurut bahasa berarti keteguhan. Kembali pada kampanye partai politik, sebenarnya hakikat dari Partai Politik adalah wadah organisasi masyarakat yang bertujuan untuk menampung seluruh aspirasi, ekspektasi, dan keluhan masyarakat sebagai bentuk partisipasi rakyat dalam aktivitas pemerintahan untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Puluhan partai politik yang tumbuh subur di Indonesia merupakan aktualisasi dari keberagaman ekspektasi masyarakat Indonesia. Kita dapat melihat dari berbagai slogan yang muncul dari mulai kepedulian terhadap kelompok-kelompok minoritas , kemiskinan, petani, patriotisme dan keberagaman ekspektasi lainnya. Itu berarti setiap partai memiliki visi dan misi masing –masing yang berpuncak pada ekspektasi untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera.
Apabila kita memperhatikan prosesi kampanye 2009 sepanjang tiga pekan kemarin, ada beberapa hal yang menimbulkan kerancuan diatas benak saya. Kerancuan ini berkaitan erat dengan konsistensi visi dan misi dari para partai politik. Menurut saya, prosesi kampanye kemarin tidak dinyana layaknya ‘lomba Adu slogan’ dan ‘lomba pemborosan uang’.
‘lomba adu slogan’, kita dapat melihat sendiri betapa tiap partai saling mengumbar janji dan bukti melalui kata-kata manis (kita sebut saja slogan). Deretan janji-janji dan bukti-bukti yang mereka utarakan, sebenarnya tidak perlu dipublikasikan kepada khalayak Indonesia. Karena rakyat sudah memiliki persepsi sendiri mengenai arah gerakan masing-masing partai selama ini. Toh, “action more believable than words”. Segala aktivitas yang pernah dilakukan oleh partai-partai selama lima tahun kebelakang sudah cukup menunjukan sosok “who are them’ (siapa jati diri mereka). Berbagai slogan yang diumbar oleh partai politik selama prosesi kampanye 2009 kemarin akan berjalan sia-sia karena hanya menjadi angin lalu dibenak masyarakat Indonesia.
saya cukup kecewa, dengan suasana kampanye 2009 kemarin, pemborosan uang besar-besaran, pendidikan politik yang salah kepada masyarakat melalui ‘kampanye goyang erotis’, ditambah lagi cara-cara kampanye ‘purba’ yang masih dipertahankan melalui konvoi, arak-arakan, dan bentuk lainnya yang tengah menimbulkan dampak kemacetan dan polusi baik udara maupun suara bagi masyarakat sekitar jalan raya. Hal tersebut dapat mendeskripsikan kurangnya kreatifitas dari partai politik di Indonesia.
Sebagian besar kegiatan-kegiatan kampanye parpol Indonesia kemarin menunjukan inkonsistensi dan keselarasan visi misi masing-masing parpol dengan hakikat dari slogan-slogan yang mereka suarakan. Contoh diantaranya, slogan-slogan berbunyi kesejahteraan untuk rakyat melarat, tapi malah dihiasi dengan pemborosan uang untuk para penyanyi ‘dangdut’, kalo seperti ini, yang makin sejahtera bukannya rakyat, tetapi para artis dangdut, benar tidak?
Menurut saya, setiap parpol tidak harus mendeskripsikan diri menjadi ‘diri’ lain yang tidak dikenal. Toh, pembentukan good image parpol tidak akan terbentuk dalam waktu tiga pekan. Rakyat hanya mengharapkan sosok partai yang dapat diibaratkan layaknya ‘oksigen’, rakyat tidak perlu tahu apapun yang dikerjakan oleh partai politik Indonesia, rakyat tidak membutuhkan ‘ocehan’ slogan dari para partai politik menjelang pemilu, rakyat hanya cukup merasakan kontibusi partai ketika mereka tengah memasuki gedung senayan, sebuah kontribusi yang dapat meringankan beban berat di pundak rakyat yang mulai berkarat, cukup dengan itu, rakyat akan memberikan apresiasi dan persepsi positif kepada parpol. Intinya, pelajaran bagi partai politik, ‘tidak usah camuk (cari muka), cukup berikanlah muka yang telah masing-masing parpol bentuk selama ini, itu saja, cukup sederhana. Partai politik harus belajar ‘keikhlasan’ dalam setiap langkah gerak mereka.
Yang terakhir evaluasi, rakyat tengah menunggu partai politik untuk belajar bersikap dewasa, belajar dari sang guru kehidupan atau kita sebut saja pengalaman. Hal-hal yang telah baik semakin ditingkatkan dan hal-hal yang buruk sesegera mungkin ditinggalkan. Itulah deskripsi keinginan rakyat.

Minggu, 05 April 2009

PERSEPSI SAYA MENGENAI INDONESIA

Saya masih ingat pada seremoni upacara bendera senin pagi, sewaktu masih SD dulu. Di sebuah Sekolah Dasar yang terletak di perbukitan gunung Geulis, ujung barat kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Saya yang masih kecil, begitu bersemangat, setiap moment pengibaran bendera merah putih tengah dilakukan. Seketika badan kecil itu saya tegakkan, menunggu aba-aba ‘hormaat graak !!’ dari pemimpin upacara.
Tangan kanan ditekuk, saya tegakkan telapak tangan di dekat alis sebelah kanan. Alunan lagu Indonesia Raya semakin menderu-deru, membuat saya semakin bersemangat, sekeras mungkin saya meneriakan bait demi bait lirik lagu pusaka kebanggaan Indonesia. Lagu ciptaan W.R Supratman semakin menggelegar di halaman sekolah seluas empat kali delapan meter tersebut. Waktu itu, ingin rasanya saya berteriak dengan bangga, “ saya adalah generasi penerus masa depan Indonesia, saya adalah anak Indonesia, saya bangga menjadi bangsa Indonesa”. Memang begitulah atmosfirnya, alunan bait-bait lirik Indonesia Raya membuat siapa pun yang mendengarkannya akan merasakan perasaan bangga yang luar biasa, terlebih saya yang masih berumur tujuh tahun, pada waktu itu.
“Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku . . disanalah aku berdiri jadi pandu ibuku”. “Indonesia”, sebuah kata yang entah apa artinya, entah apa maknanya, berasal dari kata apa?, bahasa mana? Saya tidak begitu peduli dengan runutan pertanyaan-pertanyaan diatas, satu yang saya yakini, bahwa Indonesia adalah sebuah Negara tempat saya dilahirkan, tempat ibu dan ayah saya dilahirkan, nenek dan kakek saya dilahirkan, buyut, bao, udeg-udeg, janggawareng saya dilahirkan, tumbuh dan meninggal dunia.
Berbagai moment bersejarah seputar polemik dalam tataran nasional , mulai dari gerakan reformasi tahun 1998, krisis ekonomi nasional, pemisahan Timor-timur dari Indonesia, sengketa pulau sipadan dan ligitan dengan Malaysia, pergantian strukrurisasi birokrasi Indonesia sejak era Suharto, Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, sampai era SBY seakan menambah coretan tinta warna warni diatas kertas putih memori bawah sadar dalam otak saya. Coretan warna-warni tersebut secara perlahan membawa saya pada perubahan persepsi mengenai kata ‘Indonesia’.
Setelah saya beranjak dewasa, ketertarikan saya terhadap Indonesia semakin menjadi, "Indonesia", sebuah kata dalam bahasa Latin Indus yang berarti "India" dan dalam bahasa Yunani nesos yang berarti "pulau". Jadi, kata Indonesia berarti wilayah India kepulauan, atau kepulauan yang berada di India.
Ada sesuatu yang menarik disini, ternyata nama ini terbentuk jauh sebelum Indonesia menjadi negara berdaulat. Pada tahun 1850, George Earl, seorang etnolog berkebangsaan Inggris, awalnya mengusulkan istilah Indunesia dan Malayunesia untuk penduduk "Kepulauan India atau Kepulauan Melayu". Murid dari Earl, James Richardson Logan, menggunakan kata Indonesia sebagai sinonim dari Kepulauan India. Namun, penulisan akademik Belanda di media Hindia Belanda tidak menggunakan kata Indonesia, tetapi istilah Kepulauan Melayu (Maleische Archipel); Hindia Timur Belanda (Nederlandsch Oost Indië), atau Hindia (Indië); Timur (de Oost); dan bahkan Insulinde (istilah ini diperkenalkan tahun 1860 oleh novel Max Havelaar (1859), ditulis oleh Multatuli, mengenai kritik terhadap kolonialisme Belanda).
Sejak tahun 1900, nama Indonesia menjadi lebih umum pada lingkaran akademik diluar Belanda, dan golongan nasionalis Indonesia menggunakannya untuk ekspresi politik. Adolf Bastian dari Universitas Berlin mempopulerkan nama ini melalui buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipels, 1884–1894. Pelajar Indonesia pertama yang mengunakannya ialah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara), yaitu ketika ia mendirikan kantor berita di Belanda yang bernama Indonesisch Pers-bureau di tahun 1913.
Yah, begitulah, ‘Indonesia’ yang saya dapatkan dari wikipedia Indonesia. sejak zaman dulu, Indonesia sudah menjadi sebuah kepulauan istimewa, dengan keunikan budayanya, dengan kekayaan alamnya. Ada sesuatu hal yang mengganjal dalam pikiran saya, yang turut mejadi faktor yang secara perlahan membentuk persepsi saya mengenai kata Indonesia.
Apabila kita mencermati sejarah Indonesia, yang menjadikan Indonesia menjadi suatu yang unik dapat terbagi menjadi dua variabel, variabel pertama adalah fisik. Tidak dapat disangikal lagi keistimewaan dari segi fisikal Indonesia. Negeri yang memiliki 17.508 pulau ini memiliki keindahan yang luar biasa. Setiap jengkal tanah Indonesia memiliki keunikan tersendiri. Negeri seluas 1.904.569 km2 ini memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Itulah mungkin sebabnya, dahulu negeri kita menjadi rebutan negeri-negeri barat.
Variabel kedua adalah keunikan manusia Indonesia. Nenek moyang Indonesia terdahulu telah mewariskan kreasi-kreasi yang mengagumkan. Diantara karya mengagumkan dari nenek moyang bangsa Indonesia itu salah satunya adalah bahasa. Kita tidak akan pernah dapat menghitung berapa banyak bahasa yang dimiliki Indonesia, karena banyak bahasa yang mulai lenyap dari permukaan. Hal ini di akibatkan oleh keengganan generasi penerus Indonesia untuk melestarikan bahasa daerahnya masing-masing. Bahkan banyak diantara generasi muda yang malah membuat bahasanya sendiri. Saya tidak tahu, apakah itu sebuah kemajuan dari kreatifitas mereka atau malah menjadi sebuah kemunduran.
Keunikan lain dari budaya Indonesia adalah Budaya. Indonesia memiliki sekitar 300 kelompok etnis, tiap etnis memiliki budaya yang berkembang selama berabad-abad, dipengaruhi oleh kebudayaan India, Arab, Cina, dan Eropa, termasuklah kebudayaan kita sendiri yaitu Melayu. Contohnya tarian Jawa dan Bali tradisional memiliki aspek budaya dan mitologi Hindu, seperti wayang kulit yang menampilkan kisah-kisah tentang kejadian mitologis Hindu Ramayana dan Baratayuda. Banyak juga seni tari yang berisikan nilai-nilai Islam. Beberapa di antaranya dapat ditemukan di daerah Sumatra seperti tari Ratéb Meuseukat dan tari Seudati dari Nanggroe Aceh Darussalam.
Di bidang busana warisan budaya yang terkenal di seluruh dunia adalah kerajinan batik. Beberapa daerah yang terkenal akan industri batik meliputi Yogyakarta, Surakarta, Cirebon, Pandeglang, Garut, Tasikmalaya dan juga Pekalongan. Kerajinan batik ini pun diklaim oleh Malaysia dengan industri batiknya. Busana asli Indonesia dari Sabang sampai Merauke lainnya dapat dikenali dari ciri-cirinya yang dikenakan di setiap daerah antara lain baju kurung dengan songketnya dari Sumatra Barat (Minangkabau), kain ulos dari Sumatra Utara (Batak), busana kebaya, busana khas Dayak di Kalimantan, baju bodo dari Sulawesi Selatan, busana berkoteka dari Papua dan sebagainya. Kita dapat memberikan apresiasi kepada pemerintah khususya Departemen Kebudayaan RI yang telah membuat program Indonesian visit 2009, sehingga meningkatkan kembali gairah para pengrajin seni dan budaya di Indonesia. Walaupun program tersebut belum berdampak signifikan terhadap kemajuan seni dan budaya di Indonesia.
Seperti kita ketahui, bangsa Indonesia tengah merangkak, selangkah demi selangkah belajar, bergerak untuk mencapai kemajuan yang lebih baik. Salah satu arena belajar bangsa Indonesia yang diklaim telah mengalami kemajuan adalah bidang politik. Pemilihan presiden secara langsung dianggap menjadi sebuah titik balik menuju perkembangan perpolitikan Indonesia. Dalam pemilihan langsung yang tengah dijalankan sejak pemilu 2004, setiap penduduk yang berkewarganegaraan Indonesia mendapatkan hak untuk memilih wakilnya di DPRD dan DPR pusat, serta Presiden dan wakil presiden.
Berbicara mengenai pemilu, terkadang saya merasa bingung, apakah sistem pemilu ini adalah lebih baik atau tidak? Apabila kita mencermati prosesi kampanye yang berlangsung selama tiga pekan, berakhir pada tanggal 5 maret 2009 kemarin, hati ini rasanya meringis. Hari demi hari, kampanye Partai-partai politik menjelang pemilu 2009 berjalan. Berbagai Iklan elektronik bertebaran di media massa, seperti Televisi, Koran, Radio sampai Internet untuk menarik simpati khalayak. Selain menggunakan media massa elektronik, Iklan-iklan partai politik yang bersifat persuasif itu pun masih banyak yang menggunakan cara-cara konvensional, seperti pemasangan baligo, pamflet, Brosur, Spanduk, dan media cetak lainnya.
Selain itu, yang paling menyedihkan adalah prosesi kampanye yang diselenggarakan melalui proses arak-arakan (konvoi) dan pertunjukan seni dan orasi parpol di lapangan seluruh penjuru Indonesia. Proses arak-arakan yang dilakukan oleh masing-masing partai tentu saja bertujuan untuk menarik simpati rakyat, akan tetapi yang menjadi pertanyaannya, ‘apakah rakyat memberikan simpati positif untuk kegiatan kampanye partai tersebut ?’ lebih dari dua kali saya menyaksikan konvoi beberapa partai politik yang dilakukan secara frontal dan urakan, sebuah bendera besar di putar-putar oleh masing-masing partisipan parpol, dampak lainnya adalah bising kendaraan dan kemacetan yang merajarela diseluruh jalan di Indonesia.
Dalam prosesi kampanye, setelah konvoi kendaraan, biasanya dilakukan dengan pergelaran musik oleh parpol. Kadang saya bertanya, ini ‘ kampanye politik’ atau ‘pergelaran musik, apa bedanya dengan pergelaran musik yang biasa diselenggarakan oleh para Event Organizer ? terkadang, para partisipan parpol yang datang hanya bertujuan untuk menikmati pertunjukan seninya saja, bahkan tidak peduli dengan selingan orasi dari caleg masing-masing parpol ?
Kembali pada pertanyaan saya, apakah yang salah dari prosesi pemilu ini, sistemnya, atau kurangnya pemahaman Parpol mengenai sistem pemilu ?
Maraknya iklan politik yang beredar di media massa, perlahan membentuk persepsi ,kepercayaan, keyakinan, cara pandang, para penikmat media massa mengenai partai politik. Persepsi yang terbentuk dari pengiklanan politik tersebut pun beraneka ragam, dapat berupa persepsi negatif maupun persepsi positif. Persepsi positif dihasilkan apabila masyarakat merasakan keselarasan antara Janji- janji Parpol dengan realitas pergerakan Parpol tersebut dilapangan. Persepsi negatif akan terbentuk ketika parpol dirasa hanya mengumbar janji semata.

Menurut saya, rakyat pun dapat merasakan melalui daya guna hati nurani, parpol mana yang benar-benar ikhlas memperjuangkan rakyat Indonesia ?, banyak parpol yang menjanjikan “kesejahteraan rakyat” mengeluarkan dana miliaran rupiah dalam kampanye mereka, disaat jutaan rakyat Indonesia tengah dilanda kelaparan ,penyakit, dan gizi buruk ? kalau benar parpol mau memperjuangkan rakyat, kenapa mereka tidak mendayagunakan dana yang begitu besar itu untuk membeli makanan dan obat-obatan untuk mereka yang kelaparan ?, Ada juga parpol yang menjanjikan “lapangan pekerjaan” mengeluarkan dana miliaran rupiah dalam kampanye mereka, disaat jutaan rakyat Indonesia menjadi pengangguran ? kenapa mereka tidak menggunakan dana sebesar itu untuk membuat lapangan pekerjaan.
Mungkin memang, bangsa Indonesia terutama para partai politik harus belajar lebih banyak lagi, partai politik harus mengevaluasi lagi visi dan misi mereka dengan keselarasan aksi dan kegiatan mereka. Rakyat tidak memerlukan janji, akan tetapi aksi.
Menurut saya inilah saatnya bagi generasi muda Indonesia untuk bersatu, bergerak dan memulai perubahan. Mari kita bangun Indonesia untuk lebih baik. Itulah persepsi saya mengenai Indonesia.

Selasa, 31 Maret 2009

lihat tempat ini

Tempat ini ,
Tempat kita berpijak,
Tempat kita melihat,
Tempat kita berpikir,
Tempat kita beraksi,
Tempat kita menangis,
Tempat berdiam 10% kesadaran kita,
Tempat bersembunyi 90% alam bawah sadar kita.

Kamis, 26 Maret 2009

dunia itu dunia dia

Dunia itu hitam,
Ketika mata tertutup.
Dunia itu berwarna,
Ketika hati bahagia.
Dunia itu kecil,
Ketika logika berkata.
Dunia itu besar,
Ketika jiwa terkarat noda.

Api itu panas,
Es itu dingin,
Atom itu kecil, dan
Semesta ini begitu besar.

Kadang kita melihat sesuatu,
cenderung dari satu sisi yang sama,
tanpa memperhatikan
aspek-aspek lain,
yang patut untuk dipertimbangkan.

Manusia itu kecil.
Manusia itu rapuh.
Manusia itu tak berdaya.

Lantas mengapa,
kita begitu mudah berkata,
‘dunia ini, dunia kita’,
Tapi seharusnya,
‘dunia itu, dunia milikNya’.

Sabtu, 07 Maret 2009

aku

aku adalah aku,
menapak jejak,
menabur kata tanpa rasa,
dalam ketidakadiran sebuah makna.

aku ingin menjadi aku,
dalam bentuk serangkai warna,
penuh riak suara,
menebar tawa,
suara bagi si tuli, atau
warna bagi si buta

Kamis, 05 Maret 2009

melintas di atas mimpi

kumpulan debu tak berjejak,
melintasi arus tak bertepi
meretas asa berkehendak,
lewati dunia diatas sepi.

ingin ku berhijrah,
menuju ruang,
suatu hari yang
dinanti,
di satu masa tak bertanggal,
masa tak berbulan,
masa tak bertahun,
gudang dari sejuta mimpi.

khayal diatas fatamorgana

Jejak kaki terpatah-patah,
mencetak tapak,
berjejar jejak,
ujung sepatu merontak-rontak,
mengarah sudut,
sembarang jejak.

mencari,
ku mencari ,
menolehkan wajah,
pada peta tanpa pelita,
meredam asa,
pada pintu tak berada.